Sabtu, 28 November 2009

Tantangan Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter

Gagasan untuk mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan semestinya menjadi bagian hakiki kinerja seorang guru. Namun, mempromosikan gagasan ini tidaklah mudah. Dalam hal mengajar misalnya, banyak guru yang masih merasa nyaman dengan hanya duduk di depan kelas dari tahun ke tahun. Cara mengajar yang sekadar duduk di depan kelas sesungguhnya menjadi tanda kurangnya dinamisme. Padahal dinamisme adalah bagian esensial bagi sebuah perubahan. Mungkin itu hanyalah contoh kecil. Bisa jadi ini hanya simbolis dan tidak mewakili keadaan guru secara keseluruhan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa berubah bukanlah sebuah urusan bisnis yang sederhana. Umumnya, guru sulit berubah, bahkan setelah melewati berbagai macam kursus, seminar, pelatihan, dan kegiatan semacamnya, karena telah memiliki cara mengajar tersendiri yang menjadi andalan, yang tidak dapat disentuh oleh orang lain. Pendek kata, mengajar dianggap merupakan privasi guru di dalam kelas.
Doni Koesoema, dalam bukunya "Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter", berupaya mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut perlu, terutama kala profesi keguruan cenderung mudah terjebak dalam perangkap konflik kepentingan, ekonomi, dan kelompok politik tertentu yang dangkal.
Menurutnya pula, sebagai pelaku perubahan, guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat dengan cara memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis melalui fungsi transformatif pendidikan yang dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.
Masih menurut Doni, sekarang ini kita hidup pada zaman keblinger, sebuah zaman saat dunia lari tunggang langgang dan menciptakan situasi yang membuat guru kehilangan orientasinya.
Otonomi dan kebebasan untuk merumuskan jati diri sebagai guru menjadi sulit sekali untuk dijaga. Jangankan untuk menghambat terorisme global, untuk melawan ujian nasional yang merenggut otonomi guru saja mereka tidak mampu. Jangankan berurusan dengan perusahaan multinasional, untuk mengurus uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja tidak becus. Dalam situasi seperti ini, guru sering tidak sadar dengan peran dan visi strategis dan radikal yang mesti mereka miliki. Bagaimana bisa menjadi pelaku perubahan jika untuk mengubah dirinya saja guru masih kesulitan. Ketika sekolah atau otoritas negara berupaya meningkatkan mutu guru melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau semacamnya, ternyata semua itu tidak cukup memberi dampak positif. Bahkan, untuk sebuah perubahan mendasar yang menyangkut kemampuan pedagogis maupun penguasaan bahan ajar.
Ini pula yang kemudian memberi kesan bahwa guru-guru yang sudah lolos sertifikasi pun dinilai belum menunjukkan peningkatan kompetensi dan profesionalismenya. Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), bahkan mengingatkan guru untuk introspeksi diri apakah sudah menjalankan tugasnya secara profesional. ”Guru harus terus didorong untuk mengembangkan profesionalismenya,” kata Sulistiyo. PGRI menilai isu profesionalisme guru ini harus mendapat perhatian serius karena tidak akan pernah ada pendidikan yang bermutu jika kualitas gurunya tidak bermutu. (Kompas, 25/11)
Doni menilai, ini terjadi karena tak ada kerangka kerja jangka panjang yang melatarinya sehingga perubahan radikal yang diharapkan tak kunjung dicapai. Untuk itulah, ia kemudian merumuskan tujuh strategi untuk membumikan gagasannya yang hendak meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Ketujuh strategi itu adalah menjernihkan visi sebagai guru, menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, membiasakan umpan balik dari para pemangku kepentingan, menumbuhkan kejujuran akademis, mempraktikkan pembelajaran kolaboratif, mengembangkan sekolah sebagai komunitas belajar profesional, dan menumbuhkan kultur demokratis di sekolah.
Ketujuh strategi tersebut memang tidak bersifat teknis karena hal yang ingin dicapai adalah perubahan paradigma. Meski demikian, penjernihan visi sebagai guru sangatlah penting. Visi inilah yang berfungsi sebagai orientasi dan landasan yang memotivasi guru untuk bertindak, beraktivitas, dan mengembangkan diri. Visi seseorang sebagai guru juga dapat dilihat dari bagaimana dia memahami tujuan pendidikan, pengajaran, siswa, pengetahuan, dan masyarakat. Dengan kata lain, visi sangat berkaitan dengan sejumlah asumsi dasar yang akan sangat berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pembelajaran di kelas.
Tentu saja upaya mengubah paradigma dan visi mendasar dari profesi keguruan tidaklah sederhana karena terkait kompleksitas persoalan yang dihadapi guru di lapangan. Pada zaman keblinger ini, misalnya, mistifikasi profesi guru terjadi ketika muncul euforia berlebihan oleh komunitas dalam mengidealkan berfungsinya peranan guru. Di sisi yang lain, beban kerja dan rutinitas di sekolah semakin menyulitkan guru mengembangkan dan mengubah diri.
Inilah tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter di zaman keblinger. Siapkah guru-guru untuk menjawabnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar