Senin, 26 November 2012

Guru Sebagai Pelaku Perubahan, Siapa Takut?


Doni Koesoema dalam bukunya : Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, menyatakan  bahwa sebagian dari kita pernah berutang budi pada guru. Namun, mungkin kita telah banyak lupa pada orang-orang penting yang telah berjasa itu. Kalaupun kita ingat, paling hanya satu atau dua nama saja yang benar-benar mengesan dan memengaruhi hidup kita secara mendalam. Selain pengalaman mengesan, entah buruk entah baik, wajah guru itu seringkali sama sekali hilang dari ingatan kita seakan-akan lenyap ditelan bumi. Itulah kenyataan yang sesungguhnya tentang eksistensi seorang guru. Guru itu disanjung dan dipuji, namun lebih sering menjadi sasaran umpatan hanya karena keliru sedikit saja, seolah menjadi guru tidak boleh ada tempat untuk menjadi manusia normal yang bisa keliru, bersalah, lemah, apalagi dilarang menjadi tua dan semakin kehilangan tenaga. Menjadi guru sesungguhnya merupakan pilihan antara hidup dan mati, antara ada dan tiada.
Meskipun dirasakan kehadirannya, peranan guru sesungguhnya masih marjinal dalam hidup kebanyakan orang. Alih-alih sebagai aktor yang mengubah orang lain, guru seringkali sulit mengubah dirinya sendiri. Guru, dalam konteks perubahan, adalah bagian dari masalah, bukan solusi. Begitu, kritik dari seorang teman Doni Koesoema yang merasa bahwa peranan guru dalam mengubah hidupnya itu masih marjinal. Oleh karena itu, berbicara tentang guru sebagai agen perubahan sebenarnya tidak relevan dengan profesi guru. Guru bukanlah agen pengubah. Guru adalah bagian dari masalah, bukan solusi. Sebelum mengubah orang lain, ia mesti mengubah dirinya sendiri.

Masyarakat Berubah, Identitas Guru Juga Berubah

Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, guru rupanya tertinggal di belakang. Alih-alih menjadi pelaku perubahan, guru malah menjadi bagian dari persoalan itu. Guru tidak berubah sedangkan masyarakat berubah. Oleh karena itu, guru mengalami krisis identitas. Untuk bangkit dari situasi stagnan ini guru mesti mulai menghayati panggilannya sebagai pelaku perubahan.
Seiring dengan perubahan tatanan sosial dalam masyarakat, peran dan tugas guru juga mengalami pergeseran. Inilah prinsip dasar yang senantiasa berlaku dalam dunia pendidikan. Mendengarkan panggilan, tanda-tanda dan tuntutan zaman yang ada dalam masyarakat tanpa harus kehilangan identitas diri merupakan salah satu syarat agar guru tetap up to date dalam masyarakat. Tetap aktual mencermati tuntutan dan tantangan dari luar, namun sekaligus mampu secara aktif menyelaraskan dinamika dalam diri sesuai visi tentang pendidikan merupakan kebutuhan mendesak bagi para guru agar tetap relevan kehadirannya dalam masyarakat. Lebih dari itu, guru bisa berperan lebih aktif dalam menghadirkan tatanan baru masyarakat yang lebih adil dan manusiawi melalui kinerja pendidikan mereka.

Guru Sebagai Pelaku Perubahan Tidak Lain adalah Pemimpin (Leader) Perubahan

Menjadi pelaku perubahan hanya bisa mungkin jika ada keyakinan bahwa dalam diri individu ada potensi pertumbuhan untuk berubah menjadi lebih baik  dan berkembang menjadi lebih sempurna. Untuk itu, setiap individu guru memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Guru merupakan pemimpin (leader) dan pelaku perubahan pendidikan karena tanpa keterlibatan guru setiap usaha memperbarui dunia pendidikan akan gagal. Dalam setiap pembaruan sekolah, inisiatif perubahan yang tidak menyentuh kehidupan guru tidak akan mengubah banyak hal. Guru adalah garda depan dan pelaku perubahan dalam dunia pendidikan. Berbagai macam peraturan, kebijakan, dan perubahan manajemen, dll., meskipun baik, namun jika tidak sampai menyentuh praksis guru di dalam kelas hanya akan tinggal sebagai macan kertas perubahan.
Ada anggapan di dalam masyarakat bahwa tidak semua orang terlahir menjadi pemimpin. Hanya individu yang terbentuk dengan kualitas dan kemampuan khusus, ambisi, visi, kharisma dan pengalaman tertentu yang dapat menjadi pemimpin. Pemimpin heroik adalah mereka yang mampu menyelamatkan seluruh lembaga dan anggota-anggotanya dari jurang kehancuran. Mereka percaya bahwa individu itu dapat menjadi pemimpin besar karena terlahir untuk itu. Pandangan demikian ini sesungguhnya adalah mitos belaka.
Setiap orang terlahir dengan potensi menjadi pemimpin, demikian pandangan Doni Koesoema. Menurutnya, setiap individu terlahir untuk menjadi pelaku perubahan dalam hidupnya dan pembangun bagi masyarakatnya. Memang, sebuah lembaga bisa saja maju dengan kehadiran para pemimpin istimewa ini. Mereka bisa saja menghasilkan perubahan, namun perubahan terjadi hanya dalam jangka pendek dan gagal bertahan untuk seterusnya. Dunia bisnis sekarang sudah mulai mengubah corak kepemimpinan yang sifatnya top-down ini karena model ini terbukti gagal meningkatkan kinerja organisasi menjadi lebih fleksibel, dinamis, dan hidup.
Dalam konteks pendidikan, masih banyak guru memiliki pandangan bahwa pemimpin mereka adalah kepala sekolah. Inisiatif perubahan yang sifatnya dari bawah jarang muncul. Untuk itu, guru seringkali lebih menyesuaikan diri dengan keinginan atasan daripada melaksanakan apa yang menurut dirinya baik dan layak dilakukan sebagai pendidik.
Secara struktural-formal kepala sekolah adalah pemimpin sebuah sekolah. Namun, guru sesungguhnya pemimpin yang lebih nyata, sebab ia mengelola kelas dan berjumpa langsung dengan siswa. Di sini, kemampuan menjadi pemimpin benar-benar tertantang. Keberhasilan guru mengajar siswa di kelas menentukan sejauh mana kualitas kepemimpinannya itu terbentuk.

Guru Sebagai Agen Perubahan, Dari Manakah Mulainya?

Bermula dari kesadarannya mendapati bagaimana parahnya kondisi pendidikan bangsa ini, Markus Budiraharjo, M.Ed., mengemukakan pandangannya tentang guru sebagai agen perubahan setelah bertemu dengan Romo Tandean (seorang Jesuit dari Sulawesi). Menurutnya, parahnya kondisi pendidikan bangsa ini bisa dilihat dari dua sisi. Dari sisi sistemnya, kita tidak menutup mata betapa compang-campingnya pendidikan kita. Banyak sekolah yang meletakkan “pendidikan” sebagai komoditas. “Pendidikan” ditempatkan semata-mata sebagai barang komersial yang perhitungannya didasarkan pada untung rugi – bukan pada ukuran nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam. Dari sisi sumber daya manusianya, banyak guru yang menjadi guru bukan karena atas dasar cita-cita murni. Apa yang bisa kita harapkan dari kondisi pendidikan yang semacam itu?
Jika kita telusur lebih lanjut, setidaknya ada tiga realitas objektif yang dihadapi siapa pun yang bergelut dalam bidang pendidikan di zaman ini. Pertama, banyak guru yang menjalani profesi guru bukan pertama-tama karena mereka memang bercita-cita mengabdikan diri sebagai guru. Ini berimbas pada banyak hal, terutama dalam hal dedikasi dan komitmen. Kedua, kualitas interaksi dalam keluarga berdampak besar pada kualitas dan kesiapan anak dalam berinteraksi dengan sesamanya di sekolah. Ini terjadi karena rusaknya lembaga suci perkawinan dalam banyak keluarga dewasa ini. Keluarga-keluarga itu sangat disfungsional dan praktis anak-anak yang tumbuh dari sana pun membawa beban berat – luka-luka batin di punggung mereka. Ini menjadi beban tambahan untuk para pengelola pendidikan formal. Ketiga, agenda ekonomi dari kelompok-kelompok tertentu telah merambah wilayah pendidikan. Komersialisasi pendidikan – dalam bentuk yang sangat beragam tentu saja – semakin hari semakin kentara. Sekolah-sekolah yang berdedikasi tinggi semakin kekurangan murid dan terancam tutup karena secara sistemik mereka tidak bisa serta merta menyediakan beragam fasilitas yang bagus.
Bila dihadapkan pada tantangan beragam tersebut, apa yang akan guru lakukan? Ada dua kemungkinan. Pertama, guru akan semakin merasa kecil dan tidak mampu. Guru seolah-olah sebagai sosok yang tidak memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan. Ia hanya sebagai bidak-bidak catur yang dimainkan seenaknya saja oleh suatu kekuatan besar yang barangkali tidak bisa diidentifikasi bentuknya. Kemungkinan kedua, guru justru terpacu untuk mengambil sikap. Benar bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dipengaruhi. Namun, sebagai orang yang memiliki kebebasan berpikir, kehendak yang kuat, dan semangat yang menyala-nyala untuk berbagi dengan sesama, barangkali tidak akan cukup baginya bila hanya sekedar menyerah begitu saja. Dengan kata lain, guru tidak perlu menunggu pihak-pihak lain untuk mengambil inisiatif lebih dulu. Jadi ia harus mulai dari dirinya sendiri.
Michael Fullan (1993) menyebut sikap yang kedua ini sebagai sosok agen perubahan. Menurut Fullan, sebagai agen perubahan, guru dituntut untuk memiliki visi pribadi, inkuiri (kesiapan untuk selalu belajar tanpa kenal lelah), penguasaan (mastery), dan kolaborasi (kesediaan dan kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain).
Empat hal pokok tersebut harus dikembangkan oleh seorang guru. Visi pribadi menjadi obor yang menerangi ke mana seseorang harus melangkah, inkuiri meletakkan dasar sikap untuk senantiasa haus akan pengetahuan dan pemahaman, penguasaan akan suatu bidang secara total akan memberi keahlian yang cukup untuk bertindak secara profesional, dan keterampilan kolaborasi memungkinkan guru menggerakkan diri bersama-sama dengan yang lain untuk mencapai agenda yang diharapkan bersama-sama.
Walaupun keempat hal pokok tersebut sudah dimiliki seorang guru, keberanian mutlak dibutuhkan sebagai penggerak utama bagi sosok agen perubahan untuk membuat perbedaan dalam hidup diri dan sesamanya. Aristoteles menegaskan bahwa keberanian adalah ibu dari segala keutamaan – tanpanya, seseorang, termasuk guru, tidak akan mampu melakukan hal-hal lain secara konsisten. Tanpa keberanian, semua keutamaan lain tidak ada maknanya.
Dengan bekal visi pribadi, inkuiri, mastery, dan kolaborasi, serta ditunjang oleh keberanian dirinya untuk membuat perbedaan dalam hidup diri dan sesamanya, menjadikan guru mampu mewujudkan dirinya sebagai pelaku perubahan.