Senin, 26 November 2012

Guru Sebagai Pelaku Perubahan, Siapa Takut?


Doni Koesoema dalam bukunya : Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, menyatakan  bahwa sebagian dari kita pernah berutang budi pada guru. Namun, mungkin kita telah banyak lupa pada orang-orang penting yang telah berjasa itu. Kalaupun kita ingat, paling hanya satu atau dua nama saja yang benar-benar mengesan dan memengaruhi hidup kita secara mendalam. Selain pengalaman mengesan, entah buruk entah baik, wajah guru itu seringkali sama sekali hilang dari ingatan kita seakan-akan lenyap ditelan bumi. Itulah kenyataan yang sesungguhnya tentang eksistensi seorang guru. Guru itu disanjung dan dipuji, namun lebih sering menjadi sasaran umpatan hanya karena keliru sedikit saja, seolah menjadi guru tidak boleh ada tempat untuk menjadi manusia normal yang bisa keliru, bersalah, lemah, apalagi dilarang menjadi tua dan semakin kehilangan tenaga. Menjadi guru sesungguhnya merupakan pilihan antara hidup dan mati, antara ada dan tiada.
Meskipun dirasakan kehadirannya, peranan guru sesungguhnya masih marjinal dalam hidup kebanyakan orang. Alih-alih sebagai aktor yang mengubah orang lain, guru seringkali sulit mengubah dirinya sendiri. Guru, dalam konteks perubahan, adalah bagian dari masalah, bukan solusi. Begitu, kritik dari seorang teman Doni Koesoema yang merasa bahwa peranan guru dalam mengubah hidupnya itu masih marjinal. Oleh karena itu, berbicara tentang guru sebagai agen perubahan sebenarnya tidak relevan dengan profesi guru. Guru bukanlah agen pengubah. Guru adalah bagian dari masalah, bukan solusi. Sebelum mengubah orang lain, ia mesti mengubah dirinya sendiri.

Masyarakat Berubah, Identitas Guru Juga Berubah

Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, guru rupanya tertinggal di belakang. Alih-alih menjadi pelaku perubahan, guru malah menjadi bagian dari persoalan itu. Guru tidak berubah sedangkan masyarakat berubah. Oleh karena itu, guru mengalami krisis identitas. Untuk bangkit dari situasi stagnan ini guru mesti mulai menghayati panggilannya sebagai pelaku perubahan.
Seiring dengan perubahan tatanan sosial dalam masyarakat, peran dan tugas guru juga mengalami pergeseran. Inilah prinsip dasar yang senantiasa berlaku dalam dunia pendidikan. Mendengarkan panggilan, tanda-tanda dan tuntutan zaman yang ada dalam masyarakat tanpa harus kehilangan identitas diri merupakan salah satu syarat agar guru tetap up to date dalam masyarakat. Tetap aktual mencermati tuntutan dan tantangan dari luar, namun sekaligus mampu secara aktif menyelaraskan dinamika dalam diri sesuai visi tentang pendidikan merupakan kebutuhan mendesak bagi para guru agar tetap relevan kehadirannya dalam masyarakat. Lebih dari itu, guru bisa berperan lebih aktif dalam menghadirkan tatanan baru masyarakat yang lebih adil dan manusiawi melalui kinerja pendidikan mereka.

Guru Sebagai Pelaku Perubahan Tidak Lain adalah Pemimpin (Leader) Perubahan

Menjadi pelaku perubahan hanya bisa mungkin jika ada keyakinan bahwa dalam diri individu ada potensi pertumbuhan untuk berubah menjadi lebih baik  dan berkembang menjadi lebih sempurna. Untuk itu, setiap individu guru memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Guru merupakan pemimpin (leader) dan pelaku perubahan pendidikan karena tanpa keterlibatan guru setiap usaha memperbarui dunia pendidikan akan gagal. Dalam setiap pembaruan sekolah, inisiatif perubahan yang tidak menyentuh kehidupan guru tidak akan mengubah banyak hal. Guru adalah garda depan dan pelaku perubahan dalam dunia pendidikan. Berbagai macam peraturan, kebijakan, dan perubahan manajemen, dll., meskipun baik, namun jika tidak sampai menyentuh praksis guru di dalam kelas hanya akan tinggal sebagai macan kertas perubahan.
Ada anggapan di dalam masyarakat bahwa tidak semua orang terlahir menjadi pemimpin. Hanya individu yang terbentuk dengan kualitas dan kemampuan khusus, ambisi, visi, kharisma dan pengalaman tertentu yang dapat menjadi pemimpin. Pemimpin heroik adalah mereka yang mampu menyelamatkan seluruh lembaga dan anggota-anggotanya dari jurang kehancuran. Mereka percaya bahwa individu itu dapat menjadi pemimpin besar karena terlahir untuk itu. Pandangan demikian ini sesungguhnya adalah mitos belaka.
Setiap orang terlahir dengan potensi menjadi pemimpin, demikian pandangan Doni Koesoema. Menurutnya, setiap individu terlahir untuk menjadi pelaku perubahan dalam hidupnya dan pembangun bagi masyarakatnya. Memang, sebuah lembaga bisa saja maju dengan kehadiran para pemimpin istimewa ini. Mereka bisa saja menghasilkan perubahan, namun perubahan terjadi hanya dalam jangka pendek dan gagal bertahan untuk seterusnya. Dunia bisnis sekarang sudah mulai mengubah corak kepemimpinan yang sifatnya top-down ini karena model ini terbukti gagal meningkatkan kinerja organisasi menjadi lebih fleksibel, dinamis, dan hidup.
Dalam konteks pendidikan, masih banyak guru memiliki pandangan bahwa pemimpin mereka adalah kepala sekolah. Inisiatif perubahan yang sifatnya dari bawah jarang muncul. Untuk itu, guru seringkali lebih menyesuaikan diri dengan keinginan atasan daripada melaksanakan apa yang menurut dirinya baik dan layak dilakukan sebagai pendidik.
Secara struktural-formal kepala sekolah adalah pemimpin sebuah sekolah. Namun, guru sesungguhnya pemimpin yang lebih nyata, sebab ia mengelola kelas dan berjumpa langsung dengan siswa. Di sini, kemampuan menjadi pemimpin benar-benar tertantang. Keberhasilan guru mengajar siswa di kelas menentukan sejauh mana kualitas kepemimpinannya itu terbentuk.

Guru Sebagai Agen Perubahan, Dari Manakah Mulainya?

Bermula dari kesadarannya mendapati bagaimana parahnya kondisi pendidikan bangsa ini, Markus Budiraharjo, M.Ed., mengemukakan pandangannya tentang guru sebagai agen perubahan setelah bertemu dengan Romo Tandean (seorang Jesuit dari Sulawesi). Menurutnya, parahnya kondisi pendidikan bangsa ini bisa dilihat dari dua sisi. Dari sisi sistemnya, kita tidak menutup mata betapa compang-campingnya pendidikan kita. Banyak sekolah yang meletakkan “pendidikan” sebagai komoditas. “Pendidikan” ditempatkan semata-mata sebagai barang komersial yang perhitungannya didasarkan pada untung rugi – bukan pada ukuran nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam. Dari sisi sumber daya manusianya, banyak guru yang menjadi guru bukan karena atas dasar cita-cita murni. Apa yang bisa kita harapkan dari kondisi pendidikan yang semacam itu?
Jika kita telusur lebih lanjut, setidaknya ada tiga realitas objektif yang dihadapi siapa pun yang bergelut dalam bidang pendidikan di zaman ini. Pertama, banyak guru yang menjalani profesi guru bukan pertama-tama karena mereka memang bercita-cita mengabdikan diri sebagai guru. Ini berimbas pada banyak hal, terutama dalam hal dedikasi dan komitmen. Kedua, kualitas interaksi dalam keluarga berdampak besar pada kualitas dan kesiapan anak dalam berinteraksi dengan sesamanya di sekolah. Ini terjadi karena rusaknya lembaga suci perkawinan dalam banyak keluarga dewasa ini. Keluarga-keluarga itu sangat disfungsional dan praktis anak-anak yang tumbuh dari sana pun membawa beban berat – luka-luka batin di punggung mereka. Ini menjadi beban tambahan untuk para pengelola pendidikan formal. Ketiga, agenda ekonomi dari kelompok-kelompok tertentu telah merambah wilayah pendidikan. Komersialisasi pendidikan – dalam bentuk yang sangat beragam tentu saja – semakin hari semakin kentara. Sekolah-sekolah yang berdedikasi tinggi semakin kekurangan murid dan terancam tutup karena secara sistemik mereka tidak bisa serta merta menyediakan beragam fasilitas yang bagus.
Bila dihadapkan pada tantangan beragam tersebut, apa yang akan guru lakukan? Ada dua kemungkinan. Pertama, guru akan semakin merasa kecil dan tidak mampu. Guru seolah-olah sebagai sosok yang tidak memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan. Ia hanya sebagai bidak-bidak catur yang dimainkan seenaknya saja oleh suatu kekuatan besar yang barangkali tidak bisa diidentifikasi bentuknya. Kemungkinan kedua, guru justru terpacu untuk mengambil sikap. Benar bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dipengaruhi. Namun, sebagai orang yang memiliki kebebasan berpikir, kehendak yang kuat, dan semangat yang menyala-nyala untuk berbagi dengan sesama, barangkali tidak akan cukup baginya bila hanya sekedar menyerah begitu saja. Dengan kata lain, guru tidak perlu menunggu pihak-pihak lain untuk mengambil inisiatif lebih dulu. Jadi ia harus mulai dari dirinya sendiri.
Michael Fullan (1993) menyebut sikap yang kedua ini sebagai sosok agen perubahan. Menurut Fullan, sebagai agen perubahan, guru dituntut untuk memiliki visi pribadi, inkuiri (kesiapan untuk selalu belajar tanpa kenal lelah), penguasaan (mastery), dan kolaborasi (kesediaan dan kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak-pihak lain).
Empat hal pokok tersebut harus dikembangkan oleh seorang guru. Visi pribadi menjadi obor yang menerangi ke mana seseorang harus melangkah, inkuiri meletakkan dasar sikap untuk senantiasa haus akan pengetahuan dan pemahaman, penguasaan akan suatu bidang secara total akan memberi keahlian yang cukup untuk bertindak secara profesional, dan keterampilan kolaborasi memungkinkan guru menggerakkan diri bersama-sama dengan yang lain untuk mencapai agenda yang diharapkan bersama-sama.
Walaupun keempat hal pokok tersebut sudah dimiliki seorang guru, keberanian mutlak dibutuhkan sebagai penggerak utama bagi sosok agen perubahan untuk membuat perbedaan dalam hidup diri dan sesamanya. Aristoteles menegaskan bahwa keberanian adalah ibu dari segala keutamaan – tanpanya, seseorang, termasuk guru, tidak akan mampu melakukan hal-hal lain secara konsisten. Tanpa keberanian, semua keutamaan lain tidak ada maknanya.
Dengan bekal visi pribadi, inkuiri, mastery, dan kolaborasi, serta ditunjang oleh keberanian dirinya untuk membuat perbedaan dalam hidup diri dan sesamanya, menjadikan guru mampu mewujudkan dirinya sebagai pelaku perubahan.

Senin, 22 November 2010

Ujian Nasional Dijadwalkan April 2011

JAKARTA--MICOM: Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Djemari Mardapi mengatakan pelaksanaan Ujian Nasional untuk tingkat SMA/MA, SMA Luar Biasa dan SMK tahun 2011 diperkirakan akan dilaksanakan pada awal April. Sedangkan ujian ulangan digelar satu bulan setelah pelaksanaan UN utama yakni sekitar akhir Mei.

"Bila pada tahun ini ujian nasional dilaksanakan pada bulan Maret, maka tahun depan diperkirakan mundur menjadi April," katanya pada Lokakarya UN di Jakarta, Jumat (15/10).

Ia mengatakan untuk UN tingkat SMA,MA,SMALB dan SMK  2011 direncanakan dilaksanakan pada 4 hingga 9 April. Sementara untuk ujian ulangan akan digelar pada 23-27 Mei.

Sementara itu, ujian utama tingkat SMP,MTS dan SMPLB dapat dilaksanakan pada 11-14 April dan ulangan 23-24 Mei. Sementara Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) diselenggarakan pada Mei 2010.

Djemari menjelaskan sambil menunggu tahun depan UN akan disempurnakan. Seperti kriteria kelulusan untuk sekolah yang telah mencapai standar nasional pendidikan atau kategori mandiri ditentukan oleh BSNP. "Sementara untuk yang belum penuhi standar ditentukan oleh masing-masing provinsi," katanya.

Penyelenggaran UN SMA,SMK dan MA, tambahnya, BSNP mendelegasikan pelaksanaanya pada perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah dengan dibantu oleh dinas pendidikan dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Sedangkan untuk tingkat SMP dan MTS dilakukan oleh dinas pendidikan provinsi dan kota.

Djemari menambahkan, penyempurnaan lainnya yakni mengenai pencetakan bahan ujian nasional harus dilakukan oleh perusahaan yang memenuhi kriteria dan sebaiknya dilakukan pada rayon seperti rayon Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur. "Pencetakan bahan UN SMA,MA, dan SMK dilakukan perguruan tinggi negeri," katanya.

Pihaknya juga akan meniadakan tim pemantau independen yang bertugas memantau pelaksanaan UN untuk SMP dan MTS dan akan diserahkan pada dinas pendidikan dan kabupaten. Djemari menegaskan, UN wajib dilaksanakan pada semua satuan pendidikan karena amanat dari PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. (Ant/OL-2)

Sabtu, 23 Januari 2010

Ujian Nasional Diubah pada 2011

Pemerintah Dinilai Paksakan Kehendak

Jakarta, Kompas - Perubahan mendasar pada pelaksanaan ujian nasional baru bisa dilaksanakan pada tahun 2011. Jika perubahan dilakukan dalam ujian nasional tahun ini yang sebentar lagi digelar, dikhawatirkan bakal menimbulkan kebingungan bagi siswa dan sekolah.
”Keinginan untuk memperbaiki UN guna mengakomodasi keinginan masyarakat mesti dilaksanakan, UN tahun 2010 ini sebagai masa transisi untuk perbaikan mendasar UN pada tahun berikutnya,” kata Rully Chairul Azwal, Ketua Panitia Kerja Ujian Nasional Komisi X DPR di Jakarta, Jumat (22/1).
Rully mengatakan, DPR tidak lagi mempersoalkan apakah UN kali ini sah pascaputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pemerintah soal gugatan UN. Dari konsultasi dengan MA, Ketua MA Harifin A Tumpa menegaskan bahwa tidak ada penghentian, pelarangan, atau penundaan UN.
”UN tahun ini tidak melanggar putusan MA. Jadi, kami anggap masalah hukum UN sudah selesai,” ujar Rully.
Adapun hasil UN sebagai penentu kelulusan, kata Rully, memang masih diperdebatkan. Masih ada fraksi di Komisi X yang meminta supaya hasil UN tidak sebagai syarat kelulusan dan saling memveto.
”Kami menyadari jika standar pendidikan kita belum merata. Jangan sampai UN itu membawa korban pada siswa dan sekolah-sekolah yang belum mencapai standar pelayanan minimum. Tetapi, perubahan itu kita siapkan untuk UN berikutnya supaya hasil UN jangan lagi merugikan siswa,” tegas Rully.
Hingga saat ini, dana alokasi UN senilai Rp 562 miliar masih diberi tanda bintang yang artinya belum disetujui Komisi X. Keputusan penghapusan tanda bintang diputuskan pekan depan, menunggu hasil kerja panitia kerja UN.
Pemaksaan kehendak
Secara terpisah, Muhammad Isnur, Koordinator Tim Advokasi Korban UN, mengatakan, pemerintah melakukan pemaksaan kehendak dengan tetap melaksanakan kebijaksanaan UN. Presiden dan Mendiknas dinilai hanya mencari-cari dalil dan legitimasi bahwa UN tidak bertentangan dengan putusan MA.
”Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah divonis lalai dan melanggar dalam pemenuhan dan perlindungan HAM.
Isnur menilai MA juga lari dari tanggung jawab untuk memenuhi putusan yang dibuatnya sendiri. ”Pengujian atas putusan seharusnya juga dilaksanakan melalui proses eksekusi dan penilaian majelis hakim bukan dilemparkan kepada anggota DPR yang merupakan lembaga politik,” ujar Isnur.
Di Semarang, anggota BSNP, Mungin Eddy Wibowo, mengimbau agar tim pengawas satuan pendidikan dan tim pemantauan independen lebih berani dan tegas dalam pelaksanaan ujian nasional tahun ini. Tim pemantau dan pengawas harus berani masuk ke ruang ujian jika menemukan pelanggaran dan menindak pelakunya.
Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Sudijono Sastroatmodjo mengatakan, pihaknya siap untuk melaksanakan UN. Unnes bertanggung jawab dalam pengawasan pencetakan berkas soal dan pelaksanaan ujian serta pemindaian soal.
Sudijono pun menekankan bahwa perguruan tinggi tidak dapat bertanggung jawab dalam proses pencetakan naskah soal karena terkendala persoalan biaya dan peralatan.

Rabu, 02 Desember 2009

Tulislah, dan Seluruh Masalahmu Lenyap


TIDAK banyak orang hobi menulis buku harian. Padahal dengan mengungkapkan segala masalah, emosi dan persoalan yang dihadapi dalam buku harian, langkah ini bisa jadi terapi untuk menyembuhkan trauma emosional yang dihadapi.
Empat tahun lalu, Veronica Chapa mengalami depresi berat. Dia patah hati. Kecewa dengan mantan pacarnya dan merasa heran kenapa dia bisa memilih lelaki macam Joni yang tidak pernah punya perhatian sedikitpun pada dirinya.
Tidak mau melakukan kesalahan yang kedua kalinya, Veronica mengikuti sebuah terapi. Harapannya dengan terapi itu dia bisa mengenal dirinya sehingga tidak salah lagi dalam berkeputusan. Ikutlah dia dalam sebuah kelompok terapi menulis.
Karena latar belakangnya adalah penulis di bidang marketing, Vero, begitu gadis usia 29 tahun disapa, merasa terapi ini tampaknya tidak begitu sulit dan akan mudah untuk diikutinya. Namun, kelihatannya dugaan Vero meleset. “ Saya tahu, saya hanya tinggal menulis pada kertas kosong yang disediakan, tapi rasanya kok sulit ya menulis tentang diri sendiri,” jelasnya.
Pemimpin lokakarya ini, Michele Weldon, penulis buku berjudul Writing to Save Your Life memiliki solusi sederhana buat Vero. “Tulislah surat untuk diri sendiri,”. dan Vero pun mulai menemukan kuncinya. Lalu, mulailah dia menangis, beberapa menit setelah menulis dua kata di kertasnya, berbunyi “Dear Veronica.”
“Sekali dua kata itu tertuliskan, langsung terbukalah kepenatan, kekecewaan serta kegelisahan yang saya alami. Semuanya seolah mengalir dan membual keluar tanpa bisa ditahan,” ungkap Veronica. 
Mirip dengan Chapa, kali ini pengalaman datang dari seorang mahasiswi di sebuah Universitas di Jakarta. Sebut saja namanya Dian. Gadis manis usia 22 tahun ini bercerita kepada SENIOR. “Setiap kali saya ada masalah, selalu yang menjadi teman buat penghibur adalah buku harian saya,” jelas gadis asal Semarang ini.
Buku ini, cerita Dian, adalah tempat curahan hatinya. Banyak kali dan apa pun masalah yang dialaminya, Dian ceritakan semuanya lewat kata-kata dan tulisan. “Mungkin bisa jadi novel kalau seluruh cerita di gabung-gabung,” ungkapnya.
Dan memang, menurut Dian, buku harian itu layaknya seorang terapis yang bisa menyembuhkan segala gundah gulanda yang dialaminya. Kekecewaan dan semua perasaan hati yang tidak menyenangkan bisa sedikit demi sedikit hilang seolah ditelan habis oleh lembaran-lembaran kertas wangi buku hariannya.
Kuncinya Berani Mulai
Chapa dan Dian hanyalah sedikit contoh orang yang mencoba menggunakan tulisan sebagai satu cara untuk masuk ke dalam dirinya sendiri. Hanya dengan mengambil pena lalu menuliskan segalanya, semua persoalan yang mengganjal dan membebani membalik menjadi sesuatu yang lebih menantang.
Namun, “Begitu banyak orang merasa tidak bisa dan kesulitan memulai semuanya,” jelas natalie Goldberg, pengarang buku Writing Down the Bones.
Namun seperti Chapa dan Dian, kuncinya adalah berani untuk mulai. Dengan sendirinya, kita akan menemukan gaya tulisan kita.
Seiring dengan populernya terapi ini, para psikolog kemudian menemukan bahwa ternyata bentuk terapi tulisan ini tidak bisa diterapkan untuk setiap orang. Bentuk tulisan lain mungkin akan lebih berguna dalam membantu mencapai transformasi pribadi. “Tidak ada bentuk tunggal. Setiap orang memiliki gaya dan modelnya masing-masing,” jelas James W. Pennebaker, psikolog dari University of Texas di Austin. “Selain itu, trauma yang dialami antara orang yang satu dengan yang lain sangat berbeda.
Kadar kesulitan dan beratnya masalah juga berbeda,” tegas James.
Meski demikian, menurut James, tulisan terutama yang berisi ungkapan hati, bagi penulisnya sendiri memiliki potensi besar dalam menyembuhkan ketidakseimbangan emosi. Bahkan bisa juga meredam gejala-gejala yang muncul akibat penyakit kronis.
Beberapa tahun lalu, James Pennebaker adalah psikolog yang dikenal sebagai penulis dan penggagas mengenai manfaat tulisan dalam menyembuhkan trauma emosional. Dalam tulisannya, James bahkan menyebutkan kalau tulisan yang berupa ungkapan hati pribadi seseorang bisa meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Dalam penelitian lain, bahkan ditemukan bahwa asma dan arthritis  dapat diredam dan diperbaiki dengan metode menulis seperti ini.
Mengambil Jarak
Apa sebenarnya yang terjadi saat menulis sehingga tulisan tampaknya memiliki kekuatan luar biasa menyembuhkan trauma fisik dan psikis? James menyebutkan, ketika seseorang mulai menuliskan seluruh emosi dan pengalamannya dalam sebuah tulisan, dia seolah menempatkan seluruh pengalamannya itu dalam sebuah frame seperti Anda meletakkan foto diri Anda dalam sebuah figura.
Saat itulah, Anda bisa melihat dengan jelas masalah apa yang sebenarnya Anda hadapi. Menulis, menurut James adalah sebagian langkah menuju tindakan refleksi. Sehingga harapannya, segala persoalan akan bisa dianalisis atau dilihat lagi secara proporsional. Namun, kalaupun tidak dilihat lagi, tulisan tetap membantu.
Secara filosofis, langkah menulis memberi jarak antara Anda sendiri dan masalah yang sedang dihadapi. Karenanya, seluruh pengalaman bisa dilihat lagi dengan jelas dan Anda menjadi tidak terobsesinya olehnya. Dengan mengambil jarak inilah, proses penyembuhan berlangsung. (Kompas.com, Jumat, 11 Januari 2008)

Selasa, 01 Desember 2009

Duh.. Pak Guru kok Transaksi Narkoba

SURABAYA, KOMPAS.com - Muhamad Syafi’i (36), guru sebuah sekolah swasta di kawasan Mulyorejo, Sabtu (28/11) malam dibekuk polisi usai melakukan transaksi narkoba di Jl Kaliasin Pompa, Surabaya. Warga Jalan Kedung Rukem ini ditangkap bersama barang bukti satu poket sabu-sabu (SS) seberat 0,25 gram.

Awalnya, polisi menarget pengedar berinisial D. Menurut Kanit Reskrim Polsek Mulyorejo Aiptu Suparmin, D diketahui sebagai pengedar yang tinggal tak jauh dari rumah Syafi’i. “Dari informasi masyarakat, D disebut-sebut akan transaksi narkoba dengan seseorang di Jl Kaliasin Pompa. Kami pun menyanggong ke sana, tapi ternyata transaksi sudah selesai,” kata Suparmin, Minggu (29/11).

Polisi hanya menemukan Syafi’i sambil membawa narkoba hasil transaksi. Dia langsung dibawa ke Mapolsek Mulyosari untuk menjalani pemeriksaan. Dalam pemeriksaan, dia mengakui baru saja transaksi narkoba dengan D. ”Saya kenal D satu minggu yang lalu. Terus dia cerita tentang narkoba dan saya ingin mencobanya,” ujar Syafi’i.

Syafi’i membeli satu poket SS seharga Rp 500.000. Rencananya, akan dikonsumsi sendiri di rumah. Tapi belum mencicipi, dia sudah keduluan dibekuk polisi. ”Tapi kami tidak percaya begitu saja, karena biasanya pengguna narkoba selalu mengatakan baru pertama kali saat tertangkap,” jelas Suparmin.

Sabtu, 28 November 2009

Tantangan Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter

Gagasan untuk mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan semestinya menjadi bagian hakiki kinerja seorang guru. Namun, mempromosikan gagasan ini tidaklah mudah. Dalam hal mengajar misalnya, banyak guru yang masih merasa nyaman dengan hanya duduk di depan kelas dari tahun ke tahun. Cara mengajar yang sekadar duduk di depan kelas sesungguhnya menjadi tanda kurangnya dinamisme. Padahal dinamisme adalah bagian esensial bagi sebuah perubahan. Mungkin itu hanyalah contoh kecil. Bisa jadi ini hanya simbolis dan tidak mewakili keadaan guru secara keseluruhan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa berubah bukanlah sebuah urusan bisnis yang sederhana. Umumnya, guru sulit berubah, bahkan setelah melewati berbagai macam kursus, seminar, pelatihan, dan kegiatan semacamnya, karena telah memiliki cara mengajar tersendiri yang menjadi andalan, yang tidak dapat disentuh oleh orang lain. Pendek kata, mengajar dianggap merupakan privasi guru di dalam kelas.
Doni Koesoema, dalam bukunya "Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter", berupaya mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut perlu, terutama kala profesi keguruan cenderung mudah terjebak dalam perangkap konflik kepentingan, ekonomi, dan kelompok politik tertentu yang dangkal.
Menurutnya pula, sebagai pelaku perubahan, guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat dengan cara memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis melalui fungsi transformatif pendidikan yang dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.
Masih menurut Doni, sekarang ini kita hidup pada zaman keblinger, sebuah zaman saat dunia lari tunggang langgang dan menciptakan situasi yang membuat guru kehilangan orientasinya.
Otonomi dan kebebasan untuk merumuskan jati diri sebagai guru menjadi sulit sekali untuk dijaga. Jangankan untuk menghambat terorisme global, untuk melawan ujian nasional yang merenggut otonomi guru saja mereka tidak mampu. Jangankan berurusan dengan perusahaan multinasional, untuk mengurus uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja tidak becus. Dalam situasi seperti ini, guru sering tidak sadar dengan peran dan visi strategis dan radikal yang mesti mereka miliki. Bagaimana bisa menjadi pelaku perubahan jika untuk mengubah dirinya saja guru masih kesulitan. Ketika sekolah atau otoritas negara berupaya meningkatkan mutu guru melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau semacamnya, ternyata semua itu tidak cukup memberi dampak positif. Bahkan, untuk sebuah perubahan mendasar yang menyangkut kemampuan pedagogis maupun penguasaan bahan ajar.
Ini pula yang kemudian memberi kesan bahwa guru-guru yang sudah lolos sertifikasi pun dinilai belum menunjukkan peningkatan kompetensi dan profesionalismenya. Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), bahkan mengingatkan guru untuk introspeksi diri apakah sudah menjalankan tugasnya secara profesional. ”Guru harus terus didorong untuk mengembangkan profesionalismenya,” kata Sulistiyo. PGRI menilai isu profesionalisme guru ini harus mendapat perhatian serius karena tidak akan pernah ada pendidikan yang bermutu jika kualitas gurunya tidak bermutu. (Kompas, 25/11)
Doni menilai, ini terjadi karena tak ada kerangka kerja jangka panjang yang melatarinya sehingga perubahan radikal yang diharapkan tak kunjung dicapai. Untuk itulah, ia kemudian merumuskan tujuh strategi untuk membumikan gagasannya yang hendak meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Ketujuh strategi itu adalah menjernihkan visi sebagai guru, menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, membiasakan umpan balik dari para pemangku kepentingan, menumbuhkan kejujuran akademis, mempraktikkan pembelajaran kolaboratif, mengembangkan sekolah sebagai komunitas belajar profesional, dan menumbuhkan kultur demokratis di sekolah.
Ketujuh strategi tersebut memang tidak bersifat teknis karena hal yang ingin dicapai adalah perubahan paradigma. Meski demikian, penjernihan visi sebagai guru sangatlah penting. Visi inilah yang berfungsi sebagai orientasi dan landasan yang memotivasi guru untuk bertindak, beraktivitas, dan mengembangkan diri. Visi seseorang sebagai guru juga dapat dilihat dari bagaimana dia memahami tujuan pendidikan, pengajaran, siswa, pengetahuan, dan masyarakat. Dengan kata lain, visi sangat berkaitan dengan sejumlah asumsi dasar yang akan sangat berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pembelajaran di kelas.
Tentu saja upaya mengubah paradigma dan visi mendasar dari profesi keguruan tidaklah sederhana karena terkait kompleksitas persoalan yang dihadapi guru di lapangan. Pada zaman keblinger ini, misalnya, mistifikasi profesi guru terjadi ketika muncul euforia berlebihan oleh komunitas dalam mengidealkan berfungsinya peranan guru. Di sisi yang lain, beban kerja dan rutinitas di sekolah semakin menyulitkan guru mengembangkan dan mengubah diri.
Inilah tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter di zaman keblinger. Siapkah guru-guru untuk menjawabnya?