Doni Koesoema dalam bukunya : Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, menyatakan bahwa sebagian dari kita pernah berutang budi pada guru. Namun, mungkin kita telah banyak lupa pada orang-orang penting yang telah berjasa itu. Kalaupun kita ingat, paling hanya satu atau dua nama saja yang benar-benar mengesan dan memengaruhi hidup kita secara mendalam. Selain pengalaman mengesan, entah buruk entah baik, wajah guru itu seringkali sama sekali hilang dari ingatan kita seakan-akan lenyap ditelan bumi. Itulah kenyataan yang sesungguhnya tentang eksistensi seorang guru. Guru itu disanjung dan dipuji, namun lebih sering menjadi sasaran umpatan hanya karena keliru sedikit saja, seolah menjadi guru tidak boleh ada tempat untuk menjadi manusia normal yang bisa keliru, bersalah, lemah, apalagi dilarang menjadi tua dan semakin kehilangan tenaga. Menjadi guru sesungguhnya merupakan pilihan antara hidup dan mati, antara ada dan tiada.
Meskipun
dirasakan kehadirannya, peranan guru sesungguhnya masih marjinal dalam hidup
kebanyakan orang. Alih-alih sebagai aktor yang mengubah orang lain, guru
seringkali sulit mengubah dirinya sendiri. Guru, dalam konteks perubahan,
adalah bagian dari masalah, bukan solusi. Begitu, kritik dari seorang teman
Doni Koesoema yang merasa bahwa peranan guru dalam mengubah hidupnya itu masih
marjinal. Oleh karena itu, berbicara tentang guru sebagai agen perubahan
sebenarnya tidak relevan dengan profesi guru. Guru bukanlah agen pengubah. Guru
adalah bagian dari masalah, bukan solusi. Sebelum mengubah orang lain, ia mesti
mengubah dirinya sendiri.
Masyarakat
Berubah, Identitas Guru Juga Berubah
Di
tengah perubahan zaman yang begitu cepat, guru rupanya tertinggal di belakang.
Alih-alih menjadi pelaku perubahan, guru malah menjadi bagian dari persoalan
itu. Guru tidak berubah sedangkan masyarakat berubah. Oleh karena itu, guru
mengalami krisis identitas. Untuk bangkit dari situasi stagnan ini guru mesti
mulai menghayati panggilannya sebagai pelaku perubahan.
Seiring
dengan perubahan tatanan sosial dalam masyarakat, peran dan tugas guru juga
mengalami pergeseran. Inilah prinsip dasar yang senantiasa berlaku dalam dunia
pendidikan. Mendengarkan panggilan, tanda-tanda dan tuntutan zaman yang ada
dalam masyarakat tanpa harus kehilangan identitas diri merupakan salah satu
syarat agar guru tetap up to date dalam masyarakat. Tetap
aktual mencermati tuntutan dan tantangan dari luar, namun sekaligus mampu
secara aktif menyelaraskan dinamika dalam diri sesuai visi tentang pendidikan
merupakan kebutuhan mendesak bagi para guru agar tetap relevan kehadirannya
dalam masyarakat. Lebih dari itu, guru bisa berperan lebih aktif dalam
menghadirkan tatanan baru masyarakat yang lebih adil dan manusiawi melalui
kinerja pendidikan mereka.
Guru
Sebagai Pelaku Perubahan Tidak Lain adalah Pemimpin (Leader) Perubahan
Menjadi
pelaku perubahan hanya bisa mungkin jika ada keyakinan bahwa dalam diri
individu ada potensi pertumbuhan untuk berubah menjadi lebih baik dan berkembang menjadi lebih sempurna. Untuk
itu, setiap individu guru memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Guru
merupakan pemimpin (leader) dan pelaku perubahan pendidikan karena tanpa
keterlibatan guru setiap usaha memperbarui dunia pendidikan akan gagal. Dalam
setiap pembaruan sekolah, inisiatif perubahan yang tidak menyentuh kehidupan
guru tidak akan mengubah banyak hal. Guru adalah garda depan dan pelaku
perubahan dalam dunia pendidikan. Berbagai macam peraturan, kebijakan, dan
perubahan manajemen, dll., meskipun baik, namun jika tidak sampai menyentuh
praksis guru di dalam kelas hanya akan tinggal sebagai macan kertas perubahan.
Ada
anggapan di dalam masyarakat bahwa tidak semua orang terlahir menjadi pemimpin.
Hanya individu yang terbentuk dengan kualitas dan kemampuan khusus, ambisi,
visi, kharisma dan pengalaman tertentu yang dapat menjadi pemimpin. Pemimpin
heroik adalah mereka yang mampu menyelamatkan seluruh lembaga dan
anggota-anggotanya dari jurang kehancuran. Mereka percaya bahwa individu itu
dapat menjadi pemimpin besar karena terlahir untuk itu. Pandangan demikian ini
sesungguhnya adalah mitos belaka.
Setiap
orang terlahir dengan potensi menjadi pemimpin, demikian pandangan Doni
Koesoema. Menurutnya, setiap individu terlahir untuk menjadi pelaku perubahan
dalam hidupnya dan pembangun bagi masyarakatnya. Memang, sebuah lembaga bisa
saja maju dengan kehadiran para pemimpin istimewa ini. Mereka bisa saja
menghasilkan perubahan, namun perubahan terjadi hanya dalam jangka pendek dan
gagal bertahan untuk seterusnya. Dunia bisnis sekarang sudah mulai mengubah
corak kepemimpinan yang sifatnya top-down ini karena model ini
terbukti gagal meningkatkan kinerja organisasi menjadi lebih fleksibel,
dinamis, dan hidup.
Dalam
konteks pendidikan, masih banyak guru memiliki pandangan bahwa pemimpin mereka
adalah kepala sekolah. Inisiatif perubahan yang sifatnya dari bawah jarang
muncul. Untuk itu, guru seringkali lebih menyesuaikan diri dengan keinginan
atasan daripada melaksanakan apa yang menurut dirinya baik dan layak dilakukan
sebagai pendidik.
Secara
struktural-formal kepala sekolah adalah pemimpin sebuah sekolah. Namun, guru
sesungguhnya pemimpin yang lebih nyata, sebab ia mengelola kelas dan berjumpa
langsung dengan siswa. Di sini, kemampuan menjadi pemimpin benar-benar
tertantang. Keberhasilan guru mengajar siswa di kelas menentukan sejauh mana
kualitas kepemimpinannya itu terbentuk.
Guru
Sebagai Agen Perubahan, Dari Manakah Mulainya?
Bermula
dari kesadarannya mendapati bagaimana parahnya kondisi pendidikan bangsa ini,
Markus Budiraharjo, M.Ed., mengemukakan pandangannya tentang guru sebagai agen
perubahan setelah bertemu dengan Romo Tandean (seorang Jesuit dari Sulawesi).
Menurutnya, parahnya kondisi pendidikan bangsa ini bisa dilihat dari dua sisi.
Dari sisi sistemnya, kita tidak menutup mata betapa compang-campingnya
pendidikan kita. Banyak sekolah yang meletakkan “pendidikan” sebagai komoditas.
“Pendidikan” ditempatkan semata-mata sebagai barang komersial yang
perhitungannya didasarkan pada untung rugi – bukan pada ukuran nilai-nilai
kemanusiaan yang mendalam. Dari sisi sumber daya manusianya, banyak guru yang
menjadi guru bukan karena atas dasar cita-cita murni. Apa yang bisa kita
harapkan dari kondisi pendidikan yang semacam itu?
Jika
kita telusur lebih lanjut, setidaknya ada tiga realitas objektif yang dihadapi
siapa pun yang bergelut dalam bidang pendidikan di zaman ini. Pertama, banyak
guru yang menjalani profesi guru bukan pertama-tama karena mereka memang
bercita-cita mengabdikan diri sebagai guru. Ini berimbas pada banyak hal,
terutama dalam hal dedikasi dan komitmen. Kedua, kualitas interaksi dalam keluarga
berdampak besar pada kualitas dan kesiapan anak dalam berinteraksi dengan
sesamanya di sekolah. Ini terjadi karena rusaknya lembaga suci perkawinan dalam
banyak keluarga dewasa ini. Keluarga-keluarga itu sangat disfungsional dan
praktis anak-anak yang tumbuh dari sana pun membawa beban berat – luka-luka
batin di punggung mereka. Ini menjadi beban tambahan untuk para pengelola
pendidikan formal. Ketiga, agenda ekonomi dari kelompok-kelompok tertentu telah
merambah wilayah pendidikan. Komersialisasi pendidikan – dalam bentuk yang
sangat beragam tentu saja – semakin hari semakin kentara. Sekolah-sekolah yang
berdedikasi tinggi semakin kekurangan murid dan terancam tutup karena secara
sistemik mereka tidak bisa serta merta menyediakan beragam fasilitas yang
bagus.
Bila
dihadapkan pada tantangan beragam tersebut, apa yang akan guru lakukan? Ada dua
kemungkinan. Pertama, guru akan semakin merasa kecil dan tidak mampu. Guru
seolah-olah sebagai sosok yang tidak memiliki kemampuan untuk memilih dan
menentukan. Ia hanya sebagai bidak-bidak catur yang dimainkan seenaknya saja
oleh suatu kekuatan besar yang barangkali tidak bisa diidentifikasi bentuknya.
Kemungkinan kedua, guru justru terpacu untuk mengambil sikap. Benar bahwa ada
banyak hal yang tidak bisa dipengaruhi. Namun, sebagai orang yang memiliki
kebebasan berpikir, kehendak yang kuat, dan semangat yang menyala-nyala untuk
berbagi dengan sesama, barangkali tidak akan cukup baginya bila hanya sekedar
menyerah begitu saja. Dengan kata lain, guru tidak perlu menunggu pihak-pihak
lain untuk mengambil inisiatif lebih dulu. Jadi ia harus mulai dari dirinya
sendiri.
Michael
Fullan (1993) menyebut sikap yang kedua ini sebagai sosok agen perubahan.
Menurut Fullan, sebagai agen perubahan, guru dituntut untuk memiliki visi
pribadi, inkuiri (kesiapan untuk selalu belajar tanpa kenal lelah), penguasaan (mastery),
dan kolaborasi (kesediaan dan kemampuan untuk bekerja sama dengan pihak-pihak
lain).
Empat
hal pokok tersebut harus dikembangkan oleh seorang guru. Visi pribadi menjadi
obor yang menerangi ke mana seseorang harus melangkah, inkuiri meletakkan dasar
sikap untuk senantiasa haus akan pengetahuan dan pemahaman, penguasaan akan
suatu bidang secara total akan memberi keahlian yang cukup untuk bertindak
secara profesional, dan keterampilan kolaborasi memungkinkan guru menggerakkan
diri bersama-sama dengan yang lain untuk mencapai agenda yang diharapkan
bersama-sama.
Walaupun
keempat hal pokok tersebut sudah dimiliki seorang guru, keberanian mutlak
dibutuhkan sebagai penggerak utama bagi sosok agen perubahan untuk membuat
perbedaan dalam hidup diri dan sesamanya. Aristoteles menegaskan bahwa
keberanian adalah ibu dari segala keutamaan – tanpanya, seseorang, termasuk
guru, tidak akan mampu melakukan hal-hal lain secara konsisten. Tanpa
keberanian, semua keutamaan lain tidak ada maknanya.
Dengan
bekal visi pribadi, inkuiri, mastery, dan kolaborasi, serta ditunjang oleh
keberanian dirinya untuk membuat perbedaan dalam hidup diri dan sesamanya,
menjadikan guru mampu mewujudkan dirinya sebagai pelaku perubahan.