Sabtu, 28 November 2009

Tantangan Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter

Gagasan untuk mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan semestinya menjadi bagian hakiki kinerja seorang guru. Namun, mempromosikan gagasan ini tidaklah mudah. Dalam hal mengajar misalnya, banyak guru yang masih merasa nyaman dengan hanya duduk di depan kelas dari tahun ke tahun. Cara mengajar yang sekadar duduk di depan kelas sesungguhnya menjadi tanda kurangnya dinamisme. Padahal dinamisme adalah bagian esensial bagi sebuah perubahan. Mungkin itu hanyalah contoh kecil. Bisa jadi ini hanya simbolis dan tidak mewakili keadaan guru secara keseluruhan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa berubah bukanlah sebuah urusan bisnis yang sederhana. Umumnya, guru sulit berubah, bahkan setelah melewati berbagai macam kursus, seminar, pelatihan, dan kegiatan semacamnya, karena telah memiliki cara mengajar tersendiri yang menjadi andalan, yang tidak dapat disentuh oleh orang lain. Pendek kata, mengajar dianggap merupakan privasi guru di dalam kelas.
Doni Koesoema, dalam bukunya "Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter", berupaya mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut perlu, terutama kala profesi keguruan cenderung mudah terjebak dalam perangkap konflik kepentingan, ekonomi, dan kelompok politik tertentu yang dangkal.
Menurutnya pula, sebagai pelaku perubahan, guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat dengan cara memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis melalui fungsi transformatif pendidikan yang dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.
Masih menurut Doni, sekarang ini kita hidup pada zaman keblinger, sebuah zaman saat dunia lari tunggang langgang dan menciptakan situasi yang membuat guru kehilangan orientasinya.
Otonomi dan kebebasan untuk merumuskan jati diri sebagai guru menjadi sulit sekali untuk dijaga. Jangankan untuk menghambat terorisme global, untuk melawan ujian nasional yang merenggut otonomi guru saja mereka tidak mampu. Jangankan berurusan dengan perusahaan multinasional, untuk mengurus uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja tidak becus. Dalam situasi seperti ini, guru sering tidak sadar dengan peran dan visi strategis dan radikal yang mesti mereka miliki. Bagaimana bisa menjadi pelaku perubahan jika untuk mengubah dirinya saja guru masih kesulitan. Ketika sekolah atau otoritas negara berupaya meningkatkan mutu guru melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau semacamnya, ternyata semua itu tidak cukup memberi dampak positif. Bahkan, untuk sebuah perubahan mendasar yang menyangkut kemampuan pedagogis maupun penguasaan bahan ajar.
Ini pula yang kemudian memberi kesan bahwa guru-guru yang sudah lolos sertifikasi pun dinilai belum menunjukkan peningkatan kompetensi dan profesionalismenya. Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), bahkan mengingatkan guru untuk introspeksi diri apakah sudah menjalankan tugasnya secara profesional. ”Guru harus terus didorong untuk mengembangkan profesionalismenya,” kata Sulistiyo. PGRI menilai isu profesionalisme guru ini harus mendapat perhatian serius karena tidak akan pernah ada pendidikan yang bermutu jika kualitas gurunya tidak bermutu. (Kompas, 25/11)
Doni menilai, ini terjadi karena tak ada kerangka kerja jangka panjang yang melatarinya sehingga perubahan radikal yang diharapkan tak kunjung dicapai. Untuk itulah, ia kemudian merumuskan tujuh strategi untuk membumikan gagasannya yang hendak meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Ketujuh strategi itu adalah menjernihkan visi sebagai guru, menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, membiasakan umpan balik dari para pemangku kepentingan, menumbuhkan kejujuran akademis, mempraktikkan pembelajaran kolaboratif, mengembangkan sekolah sebagai komunitas belajar profesional, dan menumbuhkan kultur demokratis di sekolah.
Ketujuh strategi tersebut memang tidak bersifat teknis karena hal yang ingin dicapai adalah perubahan paradigma. Meski demikian, penjernihan visi sebagai guru sangatlah penting. Visi inilah yang berfungsi sebagai orientasi dan landasan yang memotivasi guru untuk bertindak, beraktivitas, dan mengembangkan diri. Visi seseorang sebagai guru juga dapat dilihat dari bagaimana dia memahami tujuan pendidikan, pengajaran, siswa, pengetahuan, dan masyarakat. Dengan kata lain, visi sangat berkaitan dengan sejumlah asumsi dasar yang akan sangat berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pembelajaran di kelas.
Tentu saja upaya mengubah paradigma dan visi mendasar dari profesi keguruan tidaklah sederhana karena terkait kompleksitas persoalan yang dihadapi guru di lapangan. Pada zaman keblinger ini, misalnya, mistifikasi profesi guru terjadi ketika muncul euforia berlebihan oleh komunitas dalam mengidealkan berfungsinya peranan guru. Di sisi yang lain, beban kerja dan rutinitas di sekolah semakin menyulitkan guru mengembangkan dan mengubah diri.
Inilah tantangan yang harus dihadapi untuk mengembangkan visi guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter di zaman keblinger. Siapkah guru-guru untuk menjawabnya?

Kamis, 26 November 2009

Asvi Menggapai Kebenaran Sejarah

Hari-hari akhir bulan September menjadi istimewa bagi Asvi Warman Adam (55). Obsesinya menguak kebenaran sejarah, di antaranya tentang Peristiwa 1965, lagi-lagi memperoleh momentum. Dia ajak pemerintah, sesama sejarawan, dan masyarakat berpikir ulang tentang narasi-narasi masa lampau, utamanya tragedi 1965.
Mengenai kemungkinan pelanggaran berat HAM, sekitar Peristiwa 1965, menurut ahli peneliti utama LIPI itu, peristiwa Pulau Buru sebagai peristiwa paling jelas. Tempatnya jelas, tahun terjadinya jelas, pelakunya jelas, serta korban dan jumlahnya jelas. Dengan tujuan mengamankan Pemilu 1971, lebih dari 10.000 orang yang digolongkan tahanan politik 1965 golongan B dimasukkan ke kamp kerja paksa lebih dari 10 tahun. Stigma buruk diterapkan kepada mereka, selain pembunuhan, penangkapan tanpa proses dan pengadilan.
Kasus Pulau Buru merupakan mata rantai peristiwa sekitar 30 September 1965. Selama bertahun-tahun narasi tentang peristiwa itu hanya satu versi, yakni versi Orde Baru, bagian dari upaya justifikasi kekuasaan dan pengumpulan kekuatan. Justifikasi itu diawali dengan pembunuhan besar-besaran setelah 1 Oktober, ada yang memperkirakan jumlahnya lebih dari setengah juta orang. Penciptaan narasi tunggal disusul proyek Pulau Buru. Gugatan yang muncul dibungkam.
Seiring deru reformasi tahun 1998, masyarakat mulai kritis dengan narasi dan pencitraan versi tunggal. Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar luas setiap akhir bulan September digugat. Menurut dia, tidak lagi diputarnya film itu secara luas merupakan satu keberhasilan. ”Inilah pertama kali terbuka munculnya upaya meluruskan sejarah Peristiwa 1965. Disusul kemudian berbagai versi yang ditulis para korban dan analis-analis yang sebelumnya tidak terkuak ke permukaan,” kata Asvi Warman Adam.
Asvi mengutip sejarawan Inggris, EH Caar, bahwa kebenaran sejarah gugur manakala ditemukan data baru. Munculnya narasi-narasi baru itu adalah bagian dari ajakan menemukan dan meluruskan. Keputusan politik, katakan ketetapan MPR, adalah produk politik bagian dari justifikasi kekuasaan. Oleh karena itu, ketika data baru semakin banyak ditemukan, versi tunggal perlu ditinjau ulang, kalau perlu, ditindaklanjuti dengan rehabilitasi nama baik dan permintaan maaf dari pemerintah.
Sampel yang representatif
Demi pelurusan sejarah dan hapusnya pembohongan, Asvi tidak hanya memimpikan sekitar Peristiwa 1965 atau peristiwa lain, seperti Peristiwa Mei 1998, tetapi bahkan sejak awal Indonesia merdeka. Tidak perlu semuanya, tetapi dipilih peristiwa dan masalah sebagai sampel yang representatif. Misalnya, kurun 1945-1955, 1955-1965, dan seterusnya, sehingga diperoleh sekitar 10 kasus.
Asvi setuju bahwa demi alasan politis ada bagian-bagian peristiwa yang ditutupi, tergantung dari perspektif masing-masing. Namun, kalau narasi itu adalah kebohongan, itu perlu dibongkar. Taruhlah kisah tentang Serangan Oemoem 1 Maret dengan cara menghilangkan peran tokoh lain. Itu kebohongan sejarah.
Awal ketertarikannya ke sejarah Peristiwa 1965 dimulai pada satu peristiwa pada tahun 1999. Dia diminta ceramah oleh Yayasan Hidup Baru, sebuah yayasan yang mengurusi bekas tahanan politik 1965. ”Saya terharu atas semangat juang mereka. Saya terharu ketika mereka, bapak-ibu berusia sepuh itu, mengumpulkan uang recehan. Hasilnya sekitar Rp 25.000, diserahkan sebagai honorarium ceramah saya,” kenang Asvi.
Dengan ketekunan, dia ikuti dan teliti segala narasi Peristiwa 1965 yang berkembang selama ini. Dia sampaikan obsesi itu dalam berbagai tulisan dan karangan pengantar buku, yang semuanya berfokus ajakan menguak kebohongan sejarah, utamanya sekitar Peristiwa 1965.
Dari tujuh buku yang sudah ditulisnya, menulis Peristiwa 1965 tidak hanya berkenaan dengan peristiwa satu malam tanggal 30 September, tetapi juga penangkapan, penahanan, perburuan massal yang memakan korban lebih dari setengah juta orang, pencabutan paspor mahasiswa Indonesia di luar negeri, serta pembuangan paksa 10.000 tapol ke Pulau Buru tahun 1969-1979. Hal itu termasuk stigma dan diskriminasi jutaan orang keluarga korban Peristiwa 1965. Peristiwa-peristiwa itu disebutnya ”pancalogi”, sebagai rangkaian prolog, peristiwa, dan epilog G30S (Asvi Warman Adam, 1965. Orang-orang di Balik Tragedi, Galangpress, 2009).
Bagi Asvi, Peristiwa 1965 merupakan tanda atau pembatas zaman. Dari banyak peristiwa sejarah yang dialami bangsa Indonesia, Peristiwa 1965 merupakan pembatas zaman dalam berbagai bidang. Perubahan politik yang besar terjadi dalam bergesernya kedudukan Indonesia dari pemimpin negara nonblok dan dunia ketiga menjadi ”murid yang baik” AS. Kebijakan ekonomi berdikari menjadi kebijakan ekonomi pasar yang bergantung pada modal asing. Tidak ada kritik, tidak ada polemik, semua dalam satu versi, yakni versi pemerintah.
Peralihan dari profesi wartawan (3 tahun sebagai wartawan) ke peneliti/sejarawan tidak kecil peranan yang diberikan Prof Dr AB Lapian. Dalam status belum setahun bekerja di LIPI, setelah keluar dari majalah Sportif tahun 1983, Asvi memperoleh tawaran mengajar Bahasa Indonesia di Paris, Perancis, sekaligus beasiswa. Dia perlu memperoleh rekomendasi pimpinan LIPI. Lapian bertanya, ”Rekomendasi saya tulis dalam bahasa Inggris, Perancis, atau Indonesia?” Akhirnya rekomendasi ditulis dalam bahasa Indonesia, menerakan bahwa Asvi boleh ke Paris mengajar sekaligus belajar. ”Nah, itulah titik balik profesi saya,” Gelar doktor ilmu sejarah pun diperolehnya dengan disertasi tentang sejarah Vietnam.
Di benak Asvi, dia memimpikan narasi sejarah dibebaskan dari kebohongan-kebohongan. Biarlah peristiwa itu sendiri bicara tentang sejarahnya! Menggapai kebenaran sejarah? Yaaah..., Asvi tertawa lepas!
(Oleh : St. Sularto)

Guru Dituntut Perbaiki Kinerja

Jakarta, Kompas - Guru-guru yang sudah lolos sertifikasi dinilai belum menunjukkan peningkatan kompetensi dan profesionalisme. Jika guru tidak mengubah pola kerjanya, proses pembelajaran tidak akan bisa bertambah baik meskipun kurikulum diperbaiki.
Untuk itu, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo, Selasa (24/11), mengingatkan guru untuk introspeksi diri apakah sudah menjalankan tugasnya secara profesional. PGRI menilai isu profesionalisme guru ini harus mendapat perhatian serius karena tidak akan pernah ada pendidikan yang bermutu jika kualitas gurunya tidak bermutu.
”Guru harus terus didorong untuk mengembangkan profesionalismenya,” kata Sulistiyo.
Pernyataan senada juga ditekankan salah satu Ketua PB PGRI Sugito pada saat dengar pendapat dengan Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas serta Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama di Jakarta. ”Kami mimpi semua guru bisa mengikuti pendidikan dan pelatihan sehingga kualitasnya bisa meningkat sesuai dengan yang diharapkan,” ujar Sugito.
Salah satu cara meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru, kata Sugito, adalah dengan memberikan pelatihan secara rutin, paling tidak setiap lima tahun sekali, untuk setiap guru. Pelatihan ini dinilai sangat penting agar guru dapat mengikuti dan mengetahui perkembangan pengetahuan terbaru.
”Saya kira tidak akan terlalu besar anggarannya. Ini penting supaya guru mendapatkan sesuatu yang baru,” kata Sugito.
Pemerintah daerah
Tanggung jawab peningkatan kualitas dan profesionalisme guru ini bukan hanya di pundak pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah sesuai dengan era otonomi daerah. Sulistiyo dan Sugito mengingatkan pemerintah daerah untuk memaksimalkan peruntukan anggaran pendidikan 20 persen bagi kegiatan pendidikan, bukan hanya untuk membayar gaji guru.
”Saat ini sebagian besar anggaran pendidikan masih untuk membayar gaji guru,” kata Sulistiyo yang juga Ketua Komite III DPD RI itu.
Untuk memperjelas penggunaan anggaran pendidikan 20 persen, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi menilai perlu ada pedoman perhitungan anggaran pendidikan dalam APBD untuk pemerintah daerah agar tidak tumpang tindih dengan APBN. ”Kami sudah minta ke Departemen Keuangan karena ini kewenangan mereka,” ujarnya.
Namun sebenarnya yang lebih penting, kata Baedhowi, adalah pemberdayaan pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan penyelenggaraan pelatihan-pelatihan.
Keprihatinan pada nasib guru—terutama guru non-PNS— dan sertifikasi guru yang tidak menunjukkan peningkatan kualitas pendidikan beberapa kali diungkapkan anggota-anggota Komite III DPD RI.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Mohammad Ali membenarkan adanya kesan bahwa pemerintah seolah-olah lebih mengutamakan peningkatan kesejahteraan guru dibandingkan peningkatan kualitas guru dan pendidikan. Ini terjadi karena pemerintah seolah-olah sedang ”kejar tayang”. ”Kita ingin semua guru sudah disertifikasi pada tahun 2014,” ujarnya.

Peserta UN 2010 Dicampur

Jakarta, KOMPAS - Ujian Nasional tahun 2010 untuk siswa SMA sederajat akan berbeda dengan pelaksanaan ujian nasional sebelumnya. Selain waktunya dipercepat dari April menjadi Maret, peserta ujian nasional dalam satu ruangan merupakan peserta campuran dari sekolah lain.
Kebijakan Ujian Nasional (UN) campuran itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 yang ditandatangani Menteri Pendidikan Nasional saat itu, Bambang Sudibyo, pada 13 Oktober 2009. Dalam peraturan tersebut, pada Pasal 14 Ayat (2) dinyatakan, peserta ujian nasional, ”... dalam satu ruangan terdiri atas peserta ujian dari beberapa sekolah/madrasah dalam satu kecamatan dan/atau kabupaten/kota.”
Membingungkan guru
Kebijakan mencampur peserta UN itu membingungkan pihak sekolah, guru, dan siswa. Apalagi hingga saat ini kepastian soal perubahan-perubahan teknis dalam pelaksanaan UN belum juga disampaikan secara resmi ke sekolah.
Sejumlah pimpinan sekolah dari berbagai daerah, Rabu (25/11), mengatakan, rencana mencampur peserta UN menambah beban psikologis pelajar.
”Informasi itu memang belum resmi. Tapi kami sudah menyiapkan siswa bahwa mereka bisa ujian di sekolah lain. Kami kuatkan siswa, tidak masalah di mana lokasi ujian, yang penting bisa mengerjakan soal,” ujar Abdullah Tiahara, Wakil Kepala SMAN 1 Jakarta Bidang Kesiswaan
Haderani Thalib, Wakil Kepala SMAN 28 Jakarta Bidang Kesiswaan, menyatakan belum tahu soal informasi tersebut. Pihaknya masih menunggu pemberitahuan resmi pemerintah.
Wakil Kepala SMA Negeri 11 Yogyakarta Budi Basuki mengatakan, beban psikologis peserta UN tahun ini semakin berat dengan adanya percepatan waktu dan dicampurnya peserta UN. Untuk mengatasinya, sekolah mengadakan sejumlah acara peningkatan motivasi, antara lain achievement motivation training dan emotional and spiritual intelegence (ESQ).
Manggala Putra (16), siswa kelas III IPS SMA Bopkri I Yogyakarta, mengatakan, isu dicampurnya peserta UN tersebut telah santer terdengar sejak awal November ini. ”Kami jelas keberatan. Kami tidak mengenal kondisi sekolah lain. Belum tentu kami nyaman mengerjakan ujian di tempat itu,” ujarnya.
Informasi serupa juga telah didengar pelajar-pelajar di Kabupaten Kulon Progo. Jenia Dwi Khasanah (16), siswa kelas III IPA 1 SMAN 2 Wates, mengaku khawatir jika informasi itu menjadi kenyataan. Pengacakan nomor dan lokasi UN akan menyulitkan siswa yang rumahnya jauh.
Jenia sudah mengonfirmasi kebenaran isu ini kepada guru-guru di sekolahnya, namun hingga kini belum ada kejelasan. Ia hanya diimbau untuk mengabaikan isu itu dan lebih fokus pada persiapan UN.
”Kabar bahwa pelaksanaan UN dimajukan saja sudah memberatkan kami. Eh, sekarang malah ditambah dengan isu pengacakan lokasi ujian. Kami makin stres,” ujarnya.
Menurut Kepala SMA Negeri 6 Yogyakarta Rubiyatno, pengacakan lokasi UN dipastikan akan menimbulkan sejumlah kerumitan teknis, salah satunya pada pendataan serta pemetaan penempatan peserta UN. Pengacakan lokasi juga akan membuat kesalahan pengisian nomor lembar jawaban dan berakibat fatal.
”Pelajar masih sering salah atau lupa memasukkan nomor peserta atau kode soal. Kalau di sekolah sendiri, nomor yang benar akan lebih mudah dilacak, tapi kalau di tempat lain akan sulit,” ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, persiapan UN sedang dilakukan. ”Sekarang ini yang penting semua pihak melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya agar para pelajar juga tidak semakin bingung,” ujarnya seusai mengadakan pertemuan internal di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu.

Manfaat Mind Map dalam Proses Belajar Mengajar di Kelas

Mind Map yang diciptakan oleh Tony Buzan pada akhir tahun 60-an telah muncul sebagai jawaban yang paling ampuh untuk menjawab tantangan pada Era Kecerdasan (The Age of Intelligence). Bahkan Bill Gates mengatakan bahwa Mind Map merupakan The Thinking Tool for 21st Century.

Sedemikian pentingnya, maka saat ini berbagai organisasi pendidikan telah mengadopsi metode Mind Map sebagai Thinking Tool yang menggunakan semua kemampuan yang dimiliki oleh otak kiri dan otak kanan secara simultan – Whole Brain bagi seluruh siswanya mulai dari Pre-school hingga Kelas Eksekutif MBA.

Metode Mind Map yang diciptakan oleh Tony Buzan ini juga telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap langkah organisasi. Mind Map yang mendasarkan pada 3 (tiga) pilar utama, yaitu Radiant Thinking, Key Words dan Whole Brain memungkinkan seseorang berpikir secara free-flow, kritis dan kreatif sehingga dapat digunakan untuk berbagai macam aktifitas dalam organisasi seperti : perencanaan (Planning), Note Taking/Making, pemecahan masalah (Problem Solving), Report Writing, curah-gagasan (Critical & Creative Thinking), Memorizing, presentasi (Presenting), and Revision.

Mind Map merupakan bentuk catatan yang bersifat grafikal yang memiliki struktur radian dimana dari sebuah pusat yang merupakan topik atau gagasan akan memancar berbagai informasi yang terkait ke segala arah dalam bentuk cabang-cabang utama yang disebut Basic Ordering Ideas – BOI. Di setiap cabang utama ada cabang-cabang yang merupakan sub-gagasan yang akan mengeksplorasi gagasan tersebut secara lebih mendalam. Pada setiap cabang terdapat pula sub-cabang yang secara terus menerus mengeksplorasi gagasan secara lebih mendalam lagi. Dengan demikian, Mind Map memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan mendalam yang tidak dimiliki oleh pencatatan linier.

Mind Map membantu kita untuk menghemat waktu dalam membuat catatan. Ini terjadi karena Mind Map hanya menggunakan kata-kata yang mengandung informasi yang diperlukan untuk memahami suatu teks (naskah). Kata-kata tersebut yang kemudian kita kenal sebagai Key Words yang terdiri dari kata benda (Noun) dan kata kerja (Verb) serta sesekali kata sifat (Adjective) dan kata keterangan (Adverb). Umumnya, dalam suatu teks (naskah) jumlah kata-kata kunci ini hanya sekitar 10 – 20% dari seluruh kata yang ada. Sisanya yang 80 – 90% hanya berfungsi sebagai kata-kata penghubung dan pelengkap untuk membentuk kalimat.

Pencatatan linier yang kita kenal hingga saat ini ternyata hanya terdiri dari kata dan angka. Ini sangat berbeda dengan Mind Map yang terdiri dari simbol, gambar, warna dan kode disamping kata dan angka karena Mind Map memanfaatkan kedua belah otak yaitu otak kiri dan otak kanan – Whole Brain Note. Dengan adanya berbagai fungsi dari kedua belah otak tersebut maka proses untuk mengingat (remembering) dan memanggil kembali (recalling) akan jauh lebih mudah.

Keunggulan Mind Map dibandingkan pencatatan linier inilah yang akan membantu mengaktifkan otak, fokus kepada pokok bahasan, menunjukkan hubungan antara bagian-bagian informasi yang saling terpisah, memberi gambaran keseluruhan yang jelas dan terperinci mengenai suatu pokok bahasan serta dapat pula untuk memusatkan perhatian pada pokok bahasan yang akan membantu kita untuk mengalihkan suatu informasi dari ingatan jangka pendek (Short Term Memory) ke ingatan jangka panjang (Long Term Memory).

Keunggulan-keunggulan metode Mind Map tersebut telah dimanfaatkan oleh dunia pendidikan dalam membantu guru-guru mempersiapkan Proses Belajar Mengajar (PBM) di kelas. Manfaat tersebut antara lain :

· Menghemat waktu persiapan bahan pelajaran
Mempersiapkan bahan pelajaran dalam bentuk Mind Map akan jauh lebih cepat dari pada menuliskannya serta memberi kemungkinan pengajar dan peserta ajar (siswa) dapat mengamati subyek sepanjang waktu.

· Memudahkan perbaikan bahan pelajaran
Bahan pelajaran dalam bentuk Mind Map juga mudah untuk diperbaiki dari waktu ke waktu tanpa mengubah struktur dari bahan yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, guru dapat melakukan tinjauan ulang secara keseluruhan dengan singkat dan cepat sebelum mulai mengajarkan suatu topik (materi) secara lebih detail. Oleh karenanya, Mind Map akan memicu perkembangan dari materi yang diajarkan dari tahun ke tahun karena berkembangnya pengetahuan dari pengajar.

· Memudahkan pengorganisasian bahan pelajaran
Bahan pelajaran yang banyak dan sangat padat dapat dengan mudah diorganisasikan dengan mengurangi volume fisik dari catatan karena Mind Map hanya memuat kata-kata kuncinya saja.

· Menyelaraskan penjelasan bahan belajar dengan waktu yang tersedia
Sebagai panduan untuk mengajar, Mind Map dapat membantu pengajar untuk mempertahankan keseimbangan antara spontanitas dalam berbicara dan mempresentasikan materi yang jelas dan terstruktur dengan baik. Di samping itu, Mind Map juga memungkinkan pengajar untuk mengendalikan waktu dengan akurat selama mengajar sehingga tidak akan pernah mengalami masalah kekurangan waktu yang sering dialami sebelumnya.

· Membantu pemahaman siswa secara lebih mendalam
Berbeda dengan catatan linier, Mind Map tidak hanya menunjukkan fakta-fakta tetapi juga hubungan antara fakta-fakta tersebut sehingga pemahaman mengenai suatu subyek akan lebih mendalam.

Mendiknas: Kami akan Patuh....

JAKARTA, KOMPAS.com - Menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) dari Pengadilan Tinggi Jakarta tentang pelaksanaan Ujian Negara (UN), Mendiknas Mohammad Nuh mengatakan, Depdiknas akan patuh terhadap keputusan lembaga negara dan siap menjalankannya.
“Perubahan ini tentu bukan lantaran adanya keputusan MA itu, tapi bagian dari upaya perbaikan yang selama ini dikeluhkan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan UN. Jadi, niat untuk melakukan perubahan itu bukan lantaran adanya keputusan MA itu. Sampai sekarang saya belum melihat dan membaca bunyi putusan itu,” kata Mohammad Nuh dalam siaran persnya, Kamis (26/11) sore.
Nuh mengatakan, penjelasan terkait duduk perkara pelaksanaan UN ini diharapkan bisa menjernihkan persoalan yang dipahami secara simpang siur.
“Kami sepenuhnya akan patuh terhadap keputusan lembaga negara dan siap menjalankannya, demikian juga jika ada jalur hukum lain setelah kasasi ditolak. Menurut para ahli hukum, masih ada dalam bentuk PK (peninjauan kembali),” katanya.

UN Cukup Jadi Alat Ukur Kualitas, Bukan Penentu Kelulusan

Semarang - Keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang Ujian Nasional (UN) patut diapresiasi. UN seharusnya memang hanya jadi alat ukur kualitas, bukan penentu kelulusan.

"Kalau jadi penentu kelulusan, ya memang menimbulkan masalah," kata mantan Ketua PGRI Jateng, Sudharto kepada detikcom melalui ponsel, Rabu (25/11/2009).

Sudharto menjelaskan, UN bisa diimplementasikan dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya, jumlah dan kualifikasi guru atau adanya prasarana dan sarana yang memadai.

"Selama ini kan tidak. Semua harus UN. Padahal situasi pendidikan berbeda-beda," ungkap mantan anggota DPD RI periode 2004-2009 ini.

Sebab itu, kata Sudharto, dengan terbitnya keputusan MA, pemerintah tak perlu memaksakan diri. Mereka harus mengoreksi diri sendiri.

Sudharto menambahkan, sudah waktunya, pemerintah memetakan situasi pendidikan di berbagai daerah. Mulai dari kualifikasi guru hingga sarana dan prasarana.

"Setelah itu, mereka bisa mengadakan UN. Bukan untuk menentukan lulus tidaknya siswa, tapi sebatas mengukur kualitas (prestasi)," pungkasnya.

Putusan MA Tegaskan UN Banyak Masalah

Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Tim Advokasi Korban UN (Tekun) dan Education Forum agar ujian nasional (UN) ditiadakan. Putusan tersebut menegaskan bahwa UN memang banyak masalah.

"Putusan MA pada intinya melarang pelaksanaan UN oleh pemerintah merupakan bentuk penegasan legal bahwa UN kita banyak masalah dan karenanya
harus dilakukan evaluasi total terhadap UN itu," kata Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa M Hanif Dhakiri dalam rilis kepada detikcom, Rabu (25/11/2009) malam.

Menurut Hanif, MA juga telah menyatakan bahwa pemerintah selama ini telah gagal menyediakan pendidikan yang layak. "Pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak warga untuk mendapatkan pendidikan yang layak," tegasnya.

Hanif menjelaskan, penerapan UN selama ini “digebyah uyah” alias dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi dari infrastruktur dasar pendidikan. Akibatnya, terjadi diskriminasi antar sekolah satu dengan lainnya.

"Anak-anak yang bersekolah di teras masjid dengan yang di gedung diperlakukan sama. Demikian juga dengan mereka yang bersekolah di kota dengan yang di desa atau di daerah tertinggal," cetusnya.

"Ini jelas tidak adil dan justru memberi insentif bagi terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN, seperti kasus guru yang membocorkan soal UN ke siswanya aagr mereka lulus," imbuh anggota Komisi X ini.

Sesuai dengan pertimbangan MA, lanjut Hanif, UN diperlukan apabila seluruh penyelenggaraan pendidikan telah dilakukan secara merata, berkualitas dan terjangkau. UN bisa dilakukan apabila prasyarat dasar seperti sarana prasarana pendidikan memadai, distribusi dan kualitas guru terpenuhi, dan  kurikulum pendidikan akuntabel.

"Jika selama ini UN diterima oleh lembaga penyelenggara pendidikan, tampaknya lebih karena terpaksa, bukan karena urgensinya dalam proses pendidikan," pungkasnya.

Minggu, 22 November 2009

DATA DIRI


Nama                                  : Antonius Maryadi
Tempat, Tanggal Lahir          : Magelang, 07-11-1970
Status                                 : K-2
Pekerjaan                            : Guru
Hobby                                 : Membaca, Olah Raga


Mimpiku sebagai Seorang Guru

Berawal dari ketertarikanku akan dunia pendidikan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, aku mencoba untuk menikmati apa yang kini kuhadapi yaitu sekolah dan anak didik yang menjadi pergumulanku setiap hari. Peristiwa demi peristiwa, kejadian demi kejadian dan akhirnya terajutlah sebuah pengalaman yang kemudian membentuk diriku seperti sekarang ini.
Ternyata menjadi Guru tidak semudah yang kubayangkan atau orang lain umumnya kira. Ada asa membentang di depan sana ketika kucoba renungkan dalam kesendirianku. Menjadi sedikit berguna bagi orang lain. Itulah mimpiku menjadi Seorang Guru.